Rabu, 21 Maret 2012

Memuliakan Islam dengan 5 S


Memuliakan Islam dengan 5 S
Suatu saat, adzan Maghrib tiba. Kami bersegera shalat di sebuah mesjid yang dikenal dengan tempat mangkalnya aktivis Islam yang mempunyai kesungguhan dalam beribadah. Di sana tampak beberapa pemuda yang berpakaian “khas Islam” sedang menantikan waktu shalat. Kemudian, adzan berkumandang dan qamat pun segera diperdengarkan sesudah shalat sunat. Hal yang menarik adalah begitu sungguh-sungguhnya keinginan imam muda untuk merapikan shaf. Tanda hitam di dahinya, bekas tanda sujud, membuat kami segan. Namun, tatkala upaya merapikan shaf dikatakan dengan kata-kata yang agak ketus tanpa senyuman, “Shaf, shaf, rapikan shafnya !,” suasana tiba-tiba menjadi sulit khusuk, betapa pun bacaan sang imam begitu bagus karena terbayang teguran yang keras tadi.
Seusai shalat, beberapa jemaah shalat tadi tidak kuasa menahan lisan untuk saling bertukar ketegangan yang akhirnya disimpulkan, mereka enggan untuk shalat di tempat itu lagi. Pada saat yang lain, sewaktu kami berjalan-jalan di Perth, sebuah negara bagian di Australia, tibalah kami di sebuah taman. Sungguh mengherankan, karena hampir setiap hari berjumpa dengan penduduk asli, mereka tersenyum dengat sangat ramah dan menyapa “Good Morning !” atau sapa dengan tradisinya. Yang semuanya itu dilakukan dengan wajah cerah dan kesopanan. Kami berupaya menjawab sebisanya untuk menutupi kekagetan dan kekaguman. Ini negara yang sering kita sebut negara kaum kafir.
Dua keadaan ini disampaikan tidak untuk meremehkan siapapun tetapi untuk mengevaluasi kita, ternyata luasnya ilmu, kekuatan ibadah, tingginya kedudukan, tidak ada artinya jikalau kehilangan perilaku standar yang dicontohkan Rasulullah SAW, sehingga mudah sekali merontokkan kewibawaan dakwah itu sendiri.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dengan berinteraksi dengan sesama ini, hal ini dapat disebut dengan 5 (lima) S : Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.
Kita harus meneliti relung hati kita jikalau kita tersenyum dengan wajah jernih kita rasanya ikut terimbas bahagia. Kata-kata yang disampaikan dengan senyuman yang tulus, rasanya lebih enak didengar daripada dengan wajah bengis dan ketus. Senyuman menambah manisnya wajah walaupun berkulit sangat gelap dan tua keriput. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita termasuk orang yang senang tersenyum untuk orang lain ? Mengapa kita berat untuk tersenyum, bahkan dengan orang terdekat sekalipun. Padahal Rasulullah yang mulia tidaklah berjumpa dengan orang lain kecuali dalam keadaan wajah yang jernih dan senyum yang tulus. Mengapa kita begitu enggan tersengum ? kepada orang tua, guru, dan orang-orang yang berada di sekitar kita ?
S yang kedua adalah salam. Ketika orang mengucapkan salam kepada kita dengan keihlasan, rasanya seasana menjadi cair, tiba-tiba kita merasa bersaudara. Kita dengan terburu-buru ingin menjawabnya, di situ ada nuansa tersendiri. Pertanyaannya, mengapa kita begitu enggan untuk lebih dulu mengucapkan salam ? padahal tidak ada resiko apapun. Kita tahu di zaman Rasulullah ada seorang sahabat yang pergi ke pasar, khusus menebarkan salam. Negara kita mayoritas umat Islam, tetapi mengapa kita untuk mendahului mengucapkan salam begitu enggan ? Adakah yang salah dalam diri kita ?
S ketiga adalah sapa. Mari kita teliti diri kita kalau kita disapa dengan ramah oleh orang lain rasanya suasana jadi akrab dan hangat. Tetapi kalau kita lihat di mesjid, meski duduk seorang jamaah di sebelah kita, toh nyaris kita jarang menyapanya, padahal sama-sama muslim, sama-sama shalat, bahkan berdampingan. Mengapa kita enggan menyapa ? Mengapa harus ketus da keras ? Tidakkah kita bisa menyapa getaran kemuliaan yang hadir bersamaan dengan sapaan kita ?
S keempat, sopan. Kita selalu terpana dengan orang yang sopan ketika duduk, ketika lewat di depan orang tua. Kita pun menghormatinya. Pertanyaannya, apakah kita termasuk orang yang sopan ketika duduk, berbicara, dan berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua ? sering kita tidak mengukur tingkat kesopanan kita, bahkan kita sering mengorbankannya hanya karena pegal kaki, dengan bersolonjor misalnya. Lalu, kita relakan orang di depan kita teremehlan. Patut kiranya kita bertanya pada diri kita, apakah kita orang yang memiliki etika kesopanan atau tidak.
S kelima, santun. Kita pun berdecak kagum melihat orang yang mendahulukan kepentingan orang lain di angkutan umum, di jalanan, atau sedang dalam antrean, demi kebaikan orang lain. Memang orang mengalah memberikan haknya untuk kepentingan orang lain, untuk kebaikan. Ini adalah sebuah pesan tersendiri. Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana kesantunan yang kita miliki ? sejauh mana hak kita telah dinikmati oleh orang lain dan untuk itu kita turut berbahagia ? Sejauh mana  kelapangdadaan diri kita, sifat pemaaf ataupun kesungguhan kita untuk membahas kebaikan orang yang kurang baik ?
Saudara-saudaraku, Islam sudah banyak disampaikan oleh aneka teori dan dalil. Begitu agung dan indah. Yang dibutuhkan sekarang adalah, mana pribadi-pribadi yang indah dan agung itu ? Mari, kita jadikan diri kita sebagai bukti keindahan Islam, walau secara sederhana.  Alangkah indahnya wajah yang jernih, ceria, senyum yang tulus dan ikhlas, membahagiakan siapapun. Betapa nyamannya suasana saat salam hangat ditebar, saling mendo’akan, menyapa dengan ramah, lembut, dan penuh perhatian. Alangkah agungnya pribadi kita, jika penampilan kita selalu sopan dengan siapapun dan dalam kondisi bagaimana pun. Betapa nikmatnya dipandang, jika pribadi kita santun, mau mendahulukan orang lain, rela mengalah dan memberikan haknya, lapang dada, pemaaf yang tulus dan ingin membalas keburukan dengan kebaikan serta kemuliaan. Ikhlaskan kehidupan hanya kepada Allah jua, karena Dia-lah yang akan membalas setiap perbuatan manusia. Termasuk juga baik buruknya perilaku yang diterima dari orang-orang yang berada disekitar kita, karena Allah Maha Tahu akan semui itu. Seperti yang disampaikan Allah SWT dan juga dalam sabda Rasul-Nya, bahwa sebesar biji zarah pun amal perbuatan manusia akan mendapatkan balasannya di akhirat nanti..karena itu tidak heran juga jika banyak orang yang mengatakan hidup ini ibarat bercocok tanam. Siapa yang menuai benih yang baik, memupuk dan menyiramnya hingga tumbuh subur, maka ia pula yang akan mendapatkan hasil yang baik pula. Begitupun dengan segala hal yang diperbuat manusia selama kehidupannya di akhirat ini, kelak akan mendapatkan balasannya di akhirat.
Berkaitan dengan hal itu pulalah, maka umat Islam dituntut untuk mencipatakan pribadinya sebagai jiwa yang memiliki kewibawaan dengan atribut 5 S ini; Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.
Saudaraku, Insya Allah. Andai diri kita sudah berjuang untuk berperilaku lima S ini, semoga kita termasuk dalam golongan mujahidin dan mujahidah yang akan mengobarkan kemuliaan Islam sebagaimana dicita-citakan Rasulullah SAW, Innama buitsu liutammina makarimal akhlak,”Sesungguhnya aku diutus ke bumi ini untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar